Blitar – Kasus meninggalnya seorang santri di Blitar, Jawa Timur, berinisial MKA (13), kini memasuki babak baru. Pihak kepolisian telah menetapkan ustaz MUA (28) sebagai tersangka dalam insiden tersebut. Peristiwa tragis ini terjadi pada Minggu, 15 September 2024, ketika MUA melemparkan kayu berpaku yang mengenai kepala korban.
Korban sempat dirawat di rumah sakit, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan. Kapolres Blitar Kota, AKBP Danang Setiyo PS, mengonfirmasi bahwa MUA resmi ditetapkan sebagai tersangka sekitar sebulan setelah insiden tersebut. “Pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini telah ditahan,” ujar Danang pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Penyidik tengah mempersiapkan berkas perkara untuk diserahkan ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Blitar. Sebelumnya, pihak berwenang melakukan ekshumasi dan otopsi terhadap jasad korban sebagai bagian dari proses penyidikan. Rekonstruksi kejadian juga telah dilakukan untuk memperjelas peristiwa yang terjadi.
Atas tindakannya, MUA dijerat dengan Pasal 80 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 359 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Kronologi Kejadian
Insiden ini bermula saat korban MKA hendak mandi, namun kembali ke kamar karena handuknya tertinggal. Menurut keterangan saksi, ustaz MUA sebenarnya berniat melempar kayu berpaku ke santri lain, tetapi kayu tersebut justru mengenai MKA yang kebetulan melintas. “Cucuku lewat saat ustaz mau melempar anak lain,” ungkap Suparti, nenek korban.
Setelah kejadian, korban segera dilarikan ke rumah sakit. Paku yang menancap di kepala korban berhasil dicabut, tetapi MKA mengalami koma selama dua hari sebelum akhirnya meninggal dunia. “Begitu paku dicabut, cucu saya langsung pingsan dan tak sadarkan diri,” tambah Suparti.
Keluarga korban telah memberikan persetujuan atas proses autopsi yang dilakukan polisi sebagai bagian dari penyelidikan kasus ini. Paman korban, Iqwal Rikky Susanto (29), menjelaskan bahwa MKA diasuh oleh neneknya sejak orang tuanya bercerai. Ibunda korban bekerja di Taiwan, sementara ayahnya bekerja di Malaysia. Sejak kelas 3 SD, MKA menempuh pendidikan di pondok pesantren hingga duduk di kelas 8 MTs.
“Kami mengikuti proses hukum dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak berwenang,” ujar Suparti, nenek korban, yang berharap kasus ini dapat segera diselesaikan secara adil.
Kasus ini menambah daftar tragedi yang melibatkan lembaga pendidikan berbasis agama. Diharapkan kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan keamanan dan perlindungan anak-anak di bawah pengasuhan.